Sudah Eranya Saat Anda (Bisa Jadi) adalah Jurnalis


Benci tapi rindu. Akrab sekaligus asing. Kira-kira itulah fenomena saat ini ketika kita mendengar kata media. Kita jengah dengan dengan kapitalisasi media yang dengannya isu bisa digiring sesuai selera pemilik modal. Namun pada saat yang sama kita pun muak dengan hoax yang mewabah, datang menggunung seolah banjir bandang yang tak mampu kita bendung. Lalu ketika itu terjadi kita cenderung seakan menyalahkan semua itu kepada media, mengapa demikian??Sebabnya menurut penulis adalah kita tidak bisa membedakan antara jurnalistik sebagai profesi dan jurnalistik sebagai industri. Kita tidak bisa bedakan antara pers sebagai idealisme dan pers sebagai kapital.

Sebagai sosok yang dibesarkan oleh pers penulis sebenarnya cukup beruntung sebab bisa menjalani profesi jurnalistik secara praktik, juga mendapat pemahaman teori lewat latar belakang  akademik. Namun ternyata itu saja itu cukup, sebab jurnalistik sesungguhnya adalah rimba raya yang penuh dinamika. Ada banyak hal, yang membuat profesi ini disanjung sekaligus berkepentingan untuk dibungkam.

Penulis sering melihat postingan di media sosial semisal: mana ada yang begini di media?? Bla-bla-bla (sebuah peristiwa), Media Diam. Kalimat-kalimat ini muncul sebenarnya justru ketidakpahaman terhadap esensi keberadaan media.

Di kalangan komunitas pers, penulis juga mungkin tidak bisa dianggap senior sebab penulis tak dibesarkan oleh media-media kaliber yang punya nama dan prestise. Walaupun  penulis tetap harus bersyukur sebab walaupun dikelompokkan sebagai media kecil namun penulis berkesempatan leader yang artinya penulis tidak akan bisa disetir oleh pemilik perusahaan ataupun pemodal. Demikian pula penulis berkesempatan menjadi penulis buku, sebuah tingkatan yang menurut hemat penulis tetap menjadi prestise kalangan teman-teman wartawan, bahkan yang mengaku senior sekalipun.

Penulis dan juga teman-teman lain dari media-media kecil ini (kalau boleh curhat, hehehehe) kadang dianggap sebelah mata, syukur jika tak sampai disebut penyebar hoax pula. Alasannya sederhana, nama besar media selalu menjadi stempel resmi berita itu valid atau tidak, tapi benarkah demikian?? Apakah hoax selalu identik dengan media kecil? Walaupun istilah media besar atau kecil sebanarnya tidak ada dalam istilah profesi jurnalistik.  

Sebab kalau kita memahami media dari sudut pandang objektif, maka terlihat bahwa pers itu bukanlah kertas kosong. Dalam artian bahwa kita tidak mungkin menjust media kecil hoax pada saat yang sama menyanjung media besar demikian pula sebaliknya. Pada saat yang sama pun kita sebenarnya tak boleh sinis secara general lalu apatis pada semua kanal media, itupun keliru.

Di sinilah juga dibutuhkan kecerdasan masyarakat (khalayak). Masyarakat sebagai khalayak (pembaca/pemirsa) yang cerdas akan dapat tahu dengan jelas mana media partisan, mana media yang memperjuangkan idealisme, mana yang hoax mana yang lurus memperjuangkan kebenaran fakta, sebab ukuran untuk itu ada. Dan ukuran itu bukan ditentukan oleh besar kecilnya media atau prestise nama medianya, tetapi justru ditentukan oleh proses kerja dan output yang dihasilkan melalui kerja jurnalistik yang benar.

Maka apapun kondisinya, kita butuh media/pers. Coba kita tengok, bahwa media dalam lintasan sejarah adalah alat perjuangan. Apalagi di tengah kegentingan saat ini. Kalaupun kita bukan praktisi media. Tetapi paling tidak kita ikut melek media. Memahami esensi dan posisi media dalam percaturan nasional dan posisinya alam kehidupan bernegara.

Termasuk dalam kaitannya dengan fenomena media sosial saat ini sesungguhnya kita adalah bagian dari media itu, yang menyebarkan isu dan fakta dari jentikan jari-jari kita. Maka dalam praktiknya setiap kita adalah jurnalis ketika dipandu etika dan cara kerja jurnalistik. ¦

Post a Comment

To be published, comments must be reviewed by the administrator *

Lebih baru Lebih lama
Post ADS 1
Post ADS 1